Rintangan tak dapat menghancurkanku. Setiap rintangan akan menyerah pada ketetapan hati yang kukuh (Leonardo da Vinci)


Setiap kali saya merasa lelah dan tak mampu, saya segera teringat pada Rani kecil.
Dulu, Rani kecil tinggal di sebuah bilik kayu mungil, di pinggir rel kereta api gunung sahari. Ia sangat menyayangi keluarganya dan suka mengarang. Ketika belum bersekolah, ia sudah mengarang sebuah puisi yang dihafalnya dan kemudian dijadikannya sebuah lagu.

Kakakku manis sekali,
aku sayang padanya
Ia pun sayang padaku,
kakakku sayang….


Sebenarnya Rani ingin sekali punya abang, tetapi ia hanya memiliki seorang kakak perempuan yang berusia dua tahun di atasnya. Dan gadis kecil itu sangat mencintai kakaknya.

Rani kecil sangat suka membaca. Ia membaca semua. Buku cerita, buku pelajaran, koran, bungkus cabai, bungkus bawang dan kertas-kertas pembungkus sayur yang dibawa pulang mama dari pasar. Gadis kecil berkepang dua tersebut menjadi kesayangan ibu dan bapak guru. Kelas satu SD ia menjadi rangking ke dua di sekolah.

Suatu hari, anak berusia tujuh tahun itu terjatuh. Kepalanya terbentur ujung besi yang lancip. Berdarah! Ia muntah-muntah beberapa kali dan segera dibawa ke rumah sakit.

”Gegar otak!”suara dokter seperti gelegar petir di telinga keluarganya. “Kita doakan saja semoga tidak ada pengaruh fatal di kemudian hari. Tetapi sungguh, saya tak dapat menjamin apa pun,” sambung dokter tersebut prihatin.

Mama, papa, kakak dan adik Rani bersedih, tetapi gadis kecil itu tak pernah mengeluh. Ia hanya tersenyum. Pun ketika kemudian dokter melakukan general check up dan ia mendapat tambahan ‘vonis’.

“Ada kelainan pada otak bagian belakang….”

“Paru-parunya kotor….”

“Jantungnya bermasalah….”

“Beberapa giginya membusuk dan tak beraturan. Kami harus mencabut 13 giginya….”

“Kami sangat menyesal. Lima benjolan kecil di kepalanya ternyata tumor…, harus diangkat.”

Bertahun-tahun Rani kecil mondar mandir dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, dari satu dokter ke dokter lain dan meminum begitu banyak jenis obat yang membuatnya mual, tetapi sedikit pun ia tak pernah mengeluh.

Ia masih suka mengarang, terutama mengarang lagu. Kadang ia mengarang lagu di rumah sakit, kadang sesaat sebelum tidur. Ia mengarang lagu tentang desa, tentang alam yang indah, tentang seorang detektif kecil. Ia juga masih senang membaca. Hanya saja kakaknya melihat sang adik sering memegangi kepala beberapa saat sambil memejamkan mata. Ya, Rani kecil sering pusing dan susah berkonsentrasi dalam waktu yang lama. Tetapi ia tetap saja penggembira juga senang menyanyi.

Rani baru kelas dua SD, ketika pada suatu hari ia berkata, “Kak, aku ingin sekali punya perpustakaan. Aku juga ingin menyewakan buku-buku cerita kita pada anak-anak lain.”

Kakaknya, kelas empat SD, memandang sang adik dengan mata berbinar. “Kakak setuju. Kita taruh saja buku-buku itu di atas meja kayu, di depan rumah. Kita tawarkan pada mereka yang lewat. Kira-kira berapa harganya ya?“

“Yang tipis sepuluh rupiah. Yang tebal dua puluh lima rupiah. Boleh dipinjam selama tiga hari sampai seminggu.”

Rani dan kakaknya hanya memiliki dua puluh buku cerita. Semuanya mereka jejerkan pada sebuah meja kayu kecil di depan rumah kontrakan tempat tinggal mereka yang baru, di daerah Kebon Kosong. Ternyata banyak anak tetangga yang tertarik dan mau meminjam buku-buku itu. Uang hasil sewa buku pun mereka belikan buku-buku baru.

“Suatu hari kakak akan menulis buku-buku seperti ini,” kata kakaknya sambil memandang langit.

“Aku juga! Aku juga!”seru Rani kecil sembari tertawa memperlihatkan kawat-kawat di giginya, sambil ikut-ikutan memandang langit. Namun perlahan ia menunduk dan bertanya pelan. “Tapi apa aku bisa, kak? Aku kan gegar otak.”

Kakaknya mengangguk. “Tentu, dik. Tentu saja kamu bisa! Kamu bisa melakukan apa pun yang kakak kerjakan bila kamu mau!”

Rani kecil sering pusing, tetapi ia tak pernah berhenti belajar. Lalu Allah menunjukkan kekuasaannya! Anak gegar otak dan penyakitan yang tadinya rangking dua di kelas itu tidak menjadi seorang yang idiot! Ia malah menjadi juara satu, bahkan selalu juara umum di sekolahnya!

Rani kecil tak mau hanya termangu atau terbaring di tempat tidur. Di sela-sela waktunya bersekolah dan ke dokter, Rani kecil mengikuti berbagai kegiatan: Pramuka, karate, teater, vokal grup, apa saja.

“Saya akan melawan penyakit saya dengan berkarya, Kak. Dengan melakukan sesuatu!” kata Rani kecil sambil memandang langit.

Maka setiap kali saya lemah dalam melangkah, saya kembali teringat pada Rani kecil. Di tengah penderitaannya menahan sakit, ia berhasil masuk SMA favoritnya, SMA 1 Budi Utomo, mendapat PMDK untuk meneruskan kuliahnya di IPB, dan menjadi kecintaan teman-temannya.

Rani kecil kini berusia 37 tahun, telah menikah dengan seorang wartawan serta mempunyai sepasang anak yang cerdas dan menggemaskan. Ia menulis banyak artikel, cerpen dan cerita bersambung serta memenangkan beberapa lomba mengarang tingkat nasional. Rani juga menulis skenario televisi. Sejak buku pertamanya terbit tahun 1998 hingga 2002, total ia sudah menulis lebih dari 20 buku! Dua bukunya, Rembulan di Mata Ibu (Mizan, 2000) dan Dialog Dua Layar (Mizan, 2001) dinobatkan sebagai buku remaja terbaik Adikarya IKAPI 2000 dan 2001, sekaligus membuatnya terpilih selama dua tahun berturut-turut sebagai salah satu pengarang terbaik tingkat nasional.

Bukunya yang lain, Derai Sunyi (Mizan, 2002) menjadi novel terpuji tingkat nasional versi Forum Lingkar Pena. Organisasi ini juga memilihnya sebagai Pengarang Terpuji tingkat nasional. Tahun 2003 Penerbit Mizan juga memilihnya sebagai Penulis Remaja Terbaik Mizan. Ia diundang mewakili Indonesia dalam program Penulisan Majelis sastra Asia Tenggara (2003) dan mendapat penghargaan sastrawan muda Asia Tenggara (2005). Tahun 2006 Rani terpilih menjadi satu dari dua sastrawan Indonesia yang diundang ke Korea untuk program Writers in Residence, dan tahun ini diundang ke The Chateau de Lavigny, Swiss untuk program serupa. Karya-karyanya telah disinetronkan dan difilmkan.

Kini ia dikenal pula sebagai Direktur sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial, budaya. Rani juga pengajar dan pemerhati dunia anak dan perempuan, pendiri Rumah Baca yang jumlahnya terus bertambah di tanah air, serta sering diundang untuk berbicara dalam berbagai forum di dalam dan luar negeri. Ia pengarang nasyid --beberapa lagunya dibawakan oleh Snada-- dan sudah meluncurkan tiga album bersama kelompok Bestari.


Ya, Rani kecil adalah Asma Nadia. Dan si kakak adalah saya sendiri. Dan setiap kali saya merasa lemah dalam melangkah saya akan selalu teringat saat-saat kami masih kecil juga tekad Asma untuk melawan semua penyakitnya dengan berkarya.

“Apa saya bisa menjadi penulis, Kak? Saya kan gegar otak?”

Pertanyaannya dulu selalu kembali terngiang di telinga saya, kala saya menatap langit malam dan melihat jutaan bintang yang berserakan, menyinari rembulan, di sana.

Tentu, anda boleh bangga jika Kakek, Bapak atau Kakak anda seorang pengarang, tetapi hanya diri anda yang mampu mewujudkan cita-cita sebagai seorang pengarang atau penulis, sebab bakat tak ada arti tanpa doa, tekad dan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencapainya.

Maka, setiap kali saya lemah dalam berkarya, saya akan segera mengingat Rani kecil, seraya memandang langit. Dan seperti biasa, saya akan menemukan pendar cahaya itu. Cahaya mata seorang adik kecil yang menjelma bintang di sana. Menyemangati saya setiap malam.


*)sumber: http://www.facebook.com/photo.php?pid=403731&id=141421482585359

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top