Wawancara
dengan Mendikbud Terkait Kurikulum 2013 Wawancara dengan Mendikbud
Terkait Kurikulum 2013, di Ruang kerja Mendikbud, Gedung A Kompleks
Kemdikbud Senayan Jakarta, Rabu, 5 Desember 2012 clip_image001_thumb
Pertanyaan : Bagaimana pengembangan Kurikulum 2013 ini? Mendikbud :
Pengembangan kurikulum ini sudah ada dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Artinya apa? Kalau ada suatu
dokumen RPJMN 2010-2014, ini artinya disusun tahun 2009, berarti 2009
sudah dievaluasi, 2010-2014 harus ada penataan kurikulum. Ini perintah
RPJMN. Dari sisi arah, sangat-sangat jelas. Arahnya adalah peningkatan
kompetensi yang seimbang antara sikap (attitude), ketrampilan (skill),
dan pengetahuan (knowledge). Tiga ini harus dimiliki. Yang dirisaukan
orang bahwa anak-anak kita hanya memiliki kognitif saja, ini yang kita
jawab. Kompetensi nantinya bukan urusan kognitif saja namun ada sikap,
dan ketrampilan. Kompetensi ini didukung 4 pilar yaitu : produktif,
kreatif, inovatif, dan afektif. Meskipun inovatif ini gabungan sifat
produktif dan kreatif, namun kita taruh berdiri sendiri saja. Kalau
seseorang produktif dan kreatif, tidak serta merta menjadi inovatif,
tapi inovatif ini hanya bisa dibentuk kalau ada dua hal tersebut. Kalau
ada beras ada ikan belum tentu otomatis bisa dimakan,tapi kalau tidak
ada beras tidak ada ikan otomatis tidak ada yang bisa dimakan. Syaratnya
ada beras, ada ikan. Tentang afektif ini, kita ini rindu dengan
kekuatan-kekuatan moralitas, sentuhan seni. Tentu saja dibingkai dengan
ke-Indonesia-an. Ini sesuatu yang baru, uji publik kurikulum. Sebelumnya
tidak pernah ada uji publik. Jadi ini kita lempar ke publik. Tujuannya
apa? pertama supaya publik tahu akan ada kurikulum baru, kedua publik
dapat berpartisipasi sehingga ada rasa memiliki atau sense of belonging.
Dalam partisipasi ini siapa saja boleh memberi pandangan. Oleh karena
itu paling gampang kita masukkan dalam web kita
http://kurikulum2013.kemdikbud.go.id. Apakah yang disentuh cuma mata
pelajaran? Tentu saja tidak. Kalau kita bicara kurikulum, kita harus
bicara 4 hal, yaitu standar kompetensi lulusan, standar isi, standar
proses, dan standar penilaian. Proses ini berarti metodologi, atau
pendekatan. Itu kurikulum keempat-empatnya, mata pelajaran hanya satu
aspek saja, termasuk buku cuma satu aspek saja. Yang pertama kita garap
dalam penyusunan kurikulum adalah kompentensi apa yang akan kita capai.
Anak kelas I SD diharapkan bisa apa, kelas V bisa apa, itu yang pertama
ditentukan. Untuk ke situ apa yang harus dilakukan? Setelah kompetensi
ditentukan, prosesnya harus ditentukan. Setelah itu cara evaluasinya
harus ada, apakah sudah tercapai atau belum. Jadi perlu standar
penilaian. Jadi mata pelajaran itu sesuatu yang kecil saja, suatu akibat
saja. Apa bedanya kurikulum yang dulu dengan yang sekarang? Kurikulum
yang lama pun ada standar kompetensi, ada isinya, proses, dan penilaian.
Dari situ kita review semua, sejak 2011 sudah kita review. Ketika
ramai-ramainya PPKN, kita pelajari semua. Pendekatannya kita ubah. Kalau
dulu mata pelajaran dulu ditetapkan, baru kompetensinya, sekarang kita
ubah, kompetensinya dulu ditetapkan, baru menyusul mata pelajarannya.
Pendekatannya adalah scientific-approach, atau pendekatan ilmiah.
Pertanyaan : Mengapa kurikulum harus berubah? Mendikbud : Yang paling
mendasar, adik-adik kita didik ini untuk apa? Yang paling utama kan
untuk mereka sendiri, yang nantinya akan kembali untuk keluarga, bangsa,
dan negara. Kapan itu? kalau anak sekolah sekarang, itu bukan untuk
sekarang. Agar mereka bisa hidup untuk nanti. Jaman itu nanti berubah,
jadi harus dimulai dari sekarang. Kalau kita tidak berubah kita akan
menghasilkan generasi yang usang. Generasi yang akan menjadi beban, dan
juga tidak terserap di dunia kerja. Pertanyaan : Bagaimana tentang
anggapan ganti menteri ganti kurikulum? Mendikbud : Saya dihadapkan pada
2 pilihan: Apakah mempertahankan tidak usah ganti kurikulum biar ga
dibilang ganti menteri ganti kurikulum, atau kedua tidak apa-apa ganti
kurikulum asal ada landasan. Saya memilih yang kedua, ganti kurikulum
nggak apa-apa asal punya pijakan. Kalau ini dilakukan, saya yakin
kurikulum ini tidak akan berubah dalam 4 atau 5 tahun. Kembali ke 4
pilar di atas, penelitian menunjukkan bahwa kreativitas bisa dibangun
melalui pendidikan. Penelitian ini masih relatif baru, tahun 2011.
Penelitian ini menunjukkan 2/3 kreatifitas diperoleh melalui pendidikan,
sedangkan 1/3 karena genetik. Bagaimana menumbuhkan kreatifitas?
Anak-anak kita ajari mengamati. Manfaatkan indrawi untuk melihat
fenomena. Tidak hanya mengamati, tetapi kita dorong untuk bertanya.
Tidak hanya bertanya, tetapi harus sampai ke menalar. Dan nanti sampai
ke mencoba, sampai ke eksperimen. Makanya prosesnya kita ubah. Karena
prosesnya berubah, makanya jam pelajarannya bertambah. Obyek
pembelajarannya adalah fenomena alam, fenomena sosial, fenomena budaya.
Belajar apa saja, obyeknya pasti tiga hal tersebut. Pendekatannya kita
gunakan tematik-integratif. Anak-anak kecil itu kan belum bisa berfikir
spesialis. Karena spesialis itu memerlukan basic yang kuat, makanya dari
awal anak-anak kita ajari berfikir utuh. Generik, tapi generik-nya kita
perkuat. Tidak pelajaran-pelajaran satu-satu. Tidak boleh anak-anak
kecil itu kita ajari spesialis. Pertanyaan : Bagaimana tentang uji
publik kurikulum 2013 ini? Mendikbud : Ini sesuatu yang baru, uji publik
kurikulum. Sebelumnya tidak pernah ada uji publik. Jadi ini kita lempar
ke publik. Tujuannya apa? pertama supaya publik tahu akan ada kurikulum
baru, kedua publik dapat berpartisipasi sehingga ada rasa memiliki
atauself-belonging. Dalam partisipasi ini siapa saja boleh memberi
pandangan. Oleh karena itu paling gampang kita masukkan dalam web
kitahttp://kurikulum2013.kemdikbud.go.id. Uji publik jalan terus ini.
Secara umum tidak ada itu yang menolak. Rata-rata menyambut baik. Tujuan
uji publik itu kan untuk penyempurnaan. Makanya bahannya kita upload,
supaya publik mempelajari terlebih dahulu. Kalau ada yang komentar mata
pelajaran kita kurang fokus, coba pelajari dahulu. Waktu uji publik yang
3 minggu ini cukup. Tentang memilah masukan, itu teknis sekali. Akan
dikelompokkan tentang kurikulum dan tentang implementasi kurikulum.
Tentang kurikulum itu sendiri kan terdiri dari kompetensi lulusan, isi,
proses, dan penilaian. Kira-kira dari 4 itu mana yang perlu ditambahkan.
Dari masukan yang banyak tersebut, oleh tim pakar akan di-review. Tentu
saja tidak semua masukan kita terima, kalau semua masukan kita terima
itu berarti nggak mikir. Pertanyaan : Bagaimana tentang kesiapan guru?
Mendikbud : Ujung tombaknya guru? Benar. Bagaimana jika guru belum siap?
Kita siapkan! Dalam manajemen Pareto, itu kan ada prioritas, mencari
mana lebih prioritas. Makanya kita prioritaskan mana yang penting
terlebih dahulu. Implementasinya, kita siapkan skenario pentahapan.
Tahapnya bisa kelas 1 SD, 4 SD, kelas 7, kelas 10 terlebih dahulu. Kalau
itu kita lakukan, guru yang harus dilatih tidak sejumlah total guru,
yang 3 juta. Misal guru SD saja 1,6 juta, yang kita latih sepertiga dari
1,6 juta itu, dikurangi guru agama, guru Pendidikan Jasmani, jadi cuma
sekitar 300 ribu, itu masuk akal. Kita setiap tahun mengadakan
sertifikasi sekitar 300 ribu. Pertanyaan : Apakah bukunya berubah?
Mendikbud : Konsekuensi bukunya berubah. Apa tidak boleh mengadakan
buku? Ya tentu harus! Asalnya yang penting: 1. Jangan dibebankan kepasa
siswa atau orang tua siswa; 2. Di dalam pelaksanaannya pengadaan buku
harus bisa dipertanggungjawabkan, transparan saja. Buku masternya kita
siapkan, jadi bisa diuji isinya benar atau salah. Kemudian kita
tender-kan, terbuka. Dan siapapun bisa mengawasi. Dananya bisa dari dana
alokasi khusus (DAK), yang memang tiap tahun ada DAK pengadaan buku.
Dan juga dari anggaran kita sendiri. Estimasinya kita belum tahu.
Berapapun anggarannya, mau 100 milyar 100 trilyun, asal bisa
dipertanggungjawabkan tidak masalah. Pertanyaan : Seperti apa pengajaran
tematik-integratif? Mendikbud : Misalnya guru menetapkan tema pelajaran
hari tentang gunung, tentang diriku, tentang lingkunganku. Tema itu
bisa berhari-hari diajarkan. Dalam tema itu ada Bahasa Indonesia, ada
Matematika diintegrasikan. Contoh temanya sungai. Guru menceritakan
tentang sungai dengan Bahasa Indonesia, diperkenalkan kosa kata tentang
sungai, air, dan lain-lain. Kemudian ditanyakan, air di sungai itu
mengalir atau tidak? kenapa? Di situ diperkenalkan ilmu pengetahuan
alam. Bisa juga dikaitkan dengan budaya, bahwa di Bali dikenal ada
Subak, tentang budaya pembagian air. Air bisa digunakan untuk pembangkit
listrik. Jadi pembelajaran itu bisa hidup. Pertanyaan : Bagaimana
tentang blue-print kurikulum jangka panjang? Mendikbud : Apakah kita
bisa membuat kurikulum yang tidak berubah 50 tahun? Tidak ada ceritanya.
Tidak ada ceritanya kurikulum yang 50 tahun tidak berubah, bahkan yang
20 tahun tidak berubah itu tidak ada. Jaman itu berubah. Apa perubahan
mendasar yang dibutuhkan di masa depan? Yang paling dibutuhkan di masa
mendatang (termasuk sekarang juga dibutuhkan) yaitu kreatifitas. Ke
depan kita butuh anak-anak yang kreatif. Wawancara Mendikbud dengan
wartawan PIH Kemdikbud dan Vivanews.com (Rabu 5 Desember 2012) Kurikulum
pendidikan di Indonesia akan drastis diubah. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan telah menyusun kurikulum baru untuk tahun 2013 mendatang.
Rencana ini rupanya sudah digagas sejak 2010. Alasan Kementerian:
kurikulum pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Karena
zaman berubah, maka kurikulum harus lebih berbasis pada penguatan
penalaran, bukan lagi hafalan semata. Perubahan ini diputuskan dengan
merujuk hasil survei internasional tentang kemampuan siswa Indonesia.
Salah satunya adalah survei "Trends in International Math and Science"
oleh Global Institute pada tahun 2007. Menurut survei ini, hanya 5
persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal berkategori tinggi
yang memerlukan penalaran. Sebagai perbandingan, siswa Korea yang
sanggup mengerjakannya mencapai 71 persen. Sebaliknya, 78 persen siswa
Indonesia dapat mengerjakan soal berkategori rendah yang hanya
memerlukan hafalan. Sementara itu, siswa Korea yang bisa mengerjakan
soal semacam itu hanya 10 persen. Indikator lain datang dari Programme
for International Student Assessment (PISA) yang di tahun 2009
menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar paling buncit dari 65 negara
peserta PISA. Kriteria penilaian mencakup kemampuan kognitif dan
keahlian siswa membaca, matematika, dan sains. Dan hampir semua siswa
Indonesia ternyata cuma menguasai pelajaran sampai level 3 saja.
Sementara banyak siswa negara maju maupun berkembang lainnya, menguasai
pelajaran sampai level 4, 5, bahkan 6. Satu kesimpulan dari dua survei
itu adalah: prestasi siswa Indonesia terkebelakang. Berikut wawancara
selengkapnya: Mengapa ada perubahan kurikulum? Sebelum "mengapa", kita
perlu bahas lebih dulu apa itu kurikulum. Bicara kurikulum itu pasti
bicara empat hal. Pertama, standar kompetensi kelulusan. Kedua, standar
isi. Ketiga, standar proses. Keempat, pasti kita bicara standar
penilaian. Gampangnya, anak-anak mau kita harapkan bisa apa. Siswa SD
kelas 1 itu bisa apa? Lulusan SMP bisa apa, SMA dan seterusnya bisa apa?
Ini yang kita tetapkan dulu. Dari situ, lalu kita isi apa? Kita beri
menu apa anak-anak ini. Tapi, tidak cukup dikasih menu saja. Prosesnya
juga penting, bagaimana supaya makanan ini bisa ditelan atau diserap
oleh sang anak dengan baik. Dalam proses itu ada metodologi, cara
menyajikannya. Kalau bubur makannya pakai sendok. Kalau yang lain bisa
pakai garpu atau tangan langsung. Itu belum cukup. Juga penting
bagaimana cara mengevaluasinya, cara penilaiannya. Nah, kalau kita
bicara kompetensi, ini yang ditekankan sekarang. Ada tiga ranah atau
domain, yaitu dari sisi sikap atau attitude, sisi keterampilan atau
skill, dan sisi pengetahuan atauknowledge. Kompetensi yang ingin kita
capai adalah: tiga-tiganya harus masuk. Itu definisi tentang kurikulum.
OK, lalu kenapa diubah? Pertanyaannya memang mengapa kok diubah-ubah?
Kayak kurang pekerjaan atau kebanyakan uang. Belum lagi pasti ada pro
kontra, ganti menteri ganti kurikulum. Ini sudah kami timbang-timbang.
Zaman ke depan itu berubah, lho. Kalau tidak kita lakukan perubahan
sekarang, nanti kita akan memproduksi generasi yang usang, yang tidak
cocok dengan zamannya nanti. Akibatnya, nanti jadi beban. Termasuk tidak
terserap di ketenagakerjaan. Harus kita lakukan perubahan, meski dengan
risiko tidak populer. Daripada gara-gara kita sungkan, risikonya jadi
lebih mahal. Kita tahu kurikulum sekarang ini tidak bisa diteruskan
lagi. Nggak apa-apa lah nggak populer. Kalau mau selamat, saya diam-diam
saja, pasti selamat. Termasuk soal Ujian Nasional itu, kalau mau
dihapus, bisa saja dihapus. Orang pasti senang. Tapi mengurusi
pendidikan itu kan bukan soal orang senang atau tidak. Orang nggak
senengnggak apa-apa, asalkan ada nalarnya, ada rasionalitasnya. Apa
kekurangan mendasar dari kurikulum sekarang? Pertama, zaman sudah
berubah. Yang dibutuhkan adalah kreativitas. Kita butuh modal
pengetahuan. Tapi, itu saja tidak cukup. Jadi harus ada unsur produktif,
kreatif, inovatif dan afektif. Ke depan kita butuh anak-anak yang
seperti itu. Sekarang sudah ada banyak keluhan. Anak-anak kita tidak
kreatif. Kita hanya mengejar hafalan. Bahan pelajaran sedemikian banyak,
anak dijejali terus. Lha, apa ini harus dibiarkan? Ya, perlu kita ubah,
kita perbaiki. Bukan berarti yang lama itu salah semua. Yang lama itu
benar pada zamannya. Yang kami garap ini juga tidak ada yang berani
garansi selama 20 tahun tak akan diubah lagi. Tidak ada memang di dunia
ini, kurikulum dipertahankan sampai 30 tahun. Tidak ada. Jadi, akan
berubah dari metoda hafalan ke nalar? Yang berubah tentu di keempat
elemen itu. Standar kompetensinya berubah, prosesnya dan materinya juga
ada yang berubah. Misalnya dari sisi proses. Pendekatannya berubah. Kita
ingin agar anak-anak jadi kreatif. Pertanyaannya, apakah kreativitas
itu bisa dibentuk atau dibangun? Ada beberapa riset yang menunjukkan
bahwa kreativitas bisa dibentuk melalui proses pendidikan. Salah satunya
adalah penelitian di Harvard University tahun 2011. Ada dua pertiga
kesempatan membangun kreativitas melalui pendidikan. Sepertiganya
melalui faktor genetik atau bawaan. Ini berbeda dengan intelegensia yang
dua pertiganya karena faktor bawaan, sepertiga melalui pendidikan.
Idealnya, intelegensianya tinggi, kreativitasnya juga tinggi. Tapi,
kalau intelegensia bawaannya rendah, kita bisa memainkan space
creativity. Meskipun intelegensianya pas-pasan, kreativitasnya bisa kita
manfaatkan. Bagaimana caranya membangun kreativitas? Tentu ada berbagai
pendekatan yang bisa membangun kreativitas itu. Caranya, mulai kecil
siswa kita biasakan untuk memanfaatkan inderawinya. Ajak mereka
mengamati. Jadi, bukan main di wilayah kosong. tapi perlu masuk ke
wilayah riil sehingga setiap kejadian terekam. Misalnya, apa yang ada di
bulan sana? Kita ajak anak-anak melihat melalui teropong. Contoh
lainnya sel. Kita bisa pakai mikroskop. Baru mereka bisa mengerti apa
itu sel. Ke depan, persoalan semakin kompleks, beda dengan 30-40 tahun
lalu. Karena kompleksitas ini, butuh kemampuan yang lebih tinggi dalam
berpikir. Mengamati saja belum cukup. Anak harus dikembangkan kemampuan
untuk bertanya. Karena dari bertanya itulah muncul rasa penasaran
intelektual. Itu saja belum cukup. Siswa perlu kita ajari untuk
berkemampuan mempresentasikan, mengkomunikasikan sesuatu, baik tertulis
ataupun lisan. Oleh karena itu kita ajari bagaimana memformulasikan
persoalan. Oleh karena itu, struktur mata pelajarannya pun juga berubah.
Seperti apa perubahan struktur mata pelajaran itu? Struktur mata
pelajarannya kita tata lagi. Pendekatannya pun kita ubah. Objek
pembelajarannya kita tentukan. Pasti tentang fenomena alam, fenomena
sosial, fenomena budaya. Pendekatannya perlu diubah terutama untuk
anak-anak SD. Anak SD belum bisa berpikir spesialis. Tidak usah anak SD,
S1 saja masih belum spesialis. Doktor baru bisa tajam. Maka, anak-anak
SD itu kita bangun kekuatan fondasi generiknya. Maka, pendekatan yang
kita lakukan di pelajaran SD adalah tematik integratif. Kita menggunakan
tema yang berintegrasi dengan berbagai macam. Misalkan tema hari ini
tentang sungai, besok ganti jadi energi atau laut, gunung, apa saja. Di
situ ada pelajaran tentang PPKN, matematika, kita integrasikan. Jadi
anak sekolah SD nanti tidak membawa buku matematika atau buku bahasa
Indonesia. Mereka akan membawa buku dengan tema-tema tertentu. Hari ini
misalnya tentang lingkungan. Jadi pelajarannya tentang lingkungan. Jadi,
berhari-hari bawa buku tentang itu saja. Di buku itu ada matematikanya,
ada bahasa Indonesianya, ada pelajaran IPA-nya. Itu menarik buat siswa.
Belajar jadi hidup. Jadi, mata pelajaran di SD nanti apa saja? Agama,
PPKN, bahasa Indonesia, matematika, seni dan budaya, olahraga dan
pendidikan kesehatan. Itu mata pelajarannya. Tetapi meskipun ada
nama-nama mata pelajaran itu, pendekatannya tidak belajar
sendiri-sendiri. Diintegrasikan. Proses belajar di kelas seperti apa?
Biasa saja. Secara teknis biasa. Guru menjelaskan. Tapi, selalu
pendekatannya adalah observasi sehingga tidak harus di dalam kelas.
Anak-anak bisa diajak keluar kelas. Kenapa menurut survei kemampuan
nalar siswa kita lebih rendah dibanding siswa Korea? Itu jadi bahan
introspeksi kita. Kita berangkat dari TIMSS 2007 (Trends in
International Mathematics and Science Study). Nanti di tahun 2013 akan
keluar hasil survei tahun 2012. Saya tidak ingin menyalahkan
siapa-siapa. Makanya kenapa ini sangat penting, bahkan genting. Kita
masuk pada fase penting dan genting. Karena itu harus segera diubah.
Kalau tidak, atau menunda satu tahun saja, ada 10 juta anak kelas 1 SD
yang tidak mendapatkan kesempatan. Siswa kelas 1 dan kelas 4 itu sekitar
10 juta. Sayang anak-anak kita. Karena itu kita harus all out. Uji
publik yang direncanakan ini belum pernah ada dalam sejarah pembuatan
kurikulum. Ini kita lakukan secara terbuka. Tapi sekali lagi kami
mengajak agar pendekatannya saintifik, akademik. Jangan pakai pendekatan
politik. Sudah ada 600 lebih yang memberi tanggapanonline, di
http://kurikulum2013.kemdikbud.go.id. Di situ ada diskusi virtual.
Silakan memberikan masukan. Silakan sempurnakan. Bagaimana
implementasinya? Ini perlu effort yang luar biasa. Kami siap diaudit.
Ini semata-mata untuk kepentingan masa depan. Untuk implementasinya,
kami punya beberapa skenario. Salah satu yang menguat adalah secara
bertahap. Jadi, mulai tahun depan kita mulai dari kelas 1 dan kelas 4.
Kalau kita mulai dari kelas 6, anak-anak kan dari kelas 1 sudah
menggunakan pendekatan yang lama. Tahu-tahu dikasih yang baru, ya nggak
nyambung. Karena itu guru yang kita latih pun tidak semua, yang mengajar
kelas 1 dan 4 saja. Guru SD kan ada 1,6 juta. Kalau kita latih
semuanya, untuk apa? Tahun depan kelas 1 dan kelas 2, lalu kelas 4 dan
kelas 5. Yang kelas 4 kan sudah naik ke kelas 5. Sehingga yang kita
perlukan selanjutnya kelas 2 dan kelas 5. Kalau satu tahun mau
diperpanjang lagi, baru kelas 3 dan kelas 6. Berarti, 3 tahun lunas
untuk SD. Ada masa 3 tahun untuk menyiapkan itu. Tidak semuanya
diselesaikan di 2012. Kami paham kemampuan kami, selain dari sisi
pendekatan juga tidak pas. SMP dan SMA juga begitu. Ini sudah kita
siapkan semua. Kalau kita berpikir jernih, memang harus begitu. Karena
keluhan soal metoda hafalan ini sudah lama. Perubahan ini akan membawa
hasil yang lebih baik? Hasil pendidikan itu saya ibaratkan kotak.
Bagaimana caranya kita menjadikan kotak ini jadi sebesar-besarnya? Bagi
orang teknik gampang sekali: panjang, lebar dan tingginya ditambah. Nah,
jadi panjangnya kita tambah. Tahun depan, insya Allah sudah dimulai
pendidikan wajib 12 tahun. Lebarnya juga kita naikkan. Ini lama
anak-anak tinggal di sekolah, atau jam belajar. Konsekuensinya jam
belajar bertambah, karena pendekatannya berubah. Tinggi kotak itu
efektivitas. Ini kuncinya di kurikulum. Populasi usia produktif kita
sekarang luar biasa besar. Warga berusia muda luar biasa banyaknya.
Kalau tidak kita siapkan sejak sekarang, kasihan mereka. (kd) Sumber :
www.vivanews.com.... Baca Selengkapnya di :
http://www.m-edukasi.web.id/2013/02/wawancara-dengan-mendikbud-terkait.html
Copyright
www.m-edukasi.web.id Media Pendidikan Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar