Data
dari Organisation for Economic Co operation and Development (OECD)
dengan program andalannya setiap 2 (dua) tahun sekali, yaitu Programme
for International Student Assessment (PISA) tahun 2006-2007 memberikan
informasi yang cukup bersifat korektif terhadap kemajuan pendidikan di
negara kita.
Untuk
kemampuan ‘Reading’, negara dengan kemampuan tertinggi adalah Finlandia
dengan score 543,46. Disusul Korea Selatan (534,09), Kanada (527,91),
Australia (525,43), Liechtenstein (525,08) dan seterusnya. Sedangkan
negara yang mendapat skore tertendah adalah Tunisia dengan skore 374,62,
disusul Indonesia (381,59), Mexico (399,72), Brazil (402,80), Serbia
(411,74) dan seterusnya.
Mengapa
harus bersifat korektif? Tulisan ini diharapkan mampu mengubah
paradigma kita tentang budaya membaca dan meningkatkan kemampuan membaca
masyarakat khusuusnya para pelajar kita. Dengan melihat data di atas,
Finlansia mampu mengubah sebuah budaya, dari budaya lisan menjadi budaya
baca dalam waktu yang relatif singkat (secara statistik hanya dalam 5
tahun). Pasti ada sesuatu yang unik dan luar biasa di Finlandia. Kita
tahu bahwa mengubah budaya suatu masyarakat atau bangsa bukanlah hal
yang mudah dan sederhana. Namun Finlandia ternyata mempunyai cara dan
sistem yang cukup efektif untuk melakukan hal ini.
Ternyata
komunitas sekolah mempunyai andil dan potensi besar melejitkan minat
baca pelajar. Dan akhirnya mempengaruhi semua komunitas lainnya. Juga
mereduksi hambatan-hambatan atau aktivitas-aktivitas pesaing minat baca.
Bagaimana sekolah-sekolah tersebut mampu mewarnai minat baca tersebut?
Rahasianya ternyata sekolah tersebut menerapkan strategi multiple
intelligence dalam pelaksanaan aktivitas kognitifnya atau pelaksanaan
feedback setiap bab dalam setiap bidang studi. Setiap guru dalam
melakukan feedback kognitif atau ‘ulangan harian’ pada setiap babnya
menerapkan dua strategi penting, yaitu ‘discovering ability’ dan ‘open
book’.
Rahasia pertama adalah ‘Discovering Ability’ adalah bagaimana soal-soal yang diberikan oleh siswa dapat dikerjakan atau dijawab oleh siswa dengan cara dan kemampuan masing-masing siswa. Tentunya kemampuan siswa ini tergantung dari kecenderungan multiple intelligence masing-masing. Jadi soal boleh sama, namun cara mengerjakan dapat berbeda-beda. Jawaban dapat dalam bentuk sebuah gambar, kronologis, tulisan, rekaman, atau presentasi. Sangat variatif sekali.
Rahasia pertama adalah ‘Discovering Ability’ adalah bagaimana soal-soal yang diberikan oleh siswa dapat dikerjakan atau dijawab oleh siswa dengan cara dan kemampuan masing-masing siswa. Tentunya kemampuan siswa ini tergantung dari kecenderungan multiple intelligence masing-masing. Jadi soal boleh sama, namun cara mengerjakan dapat berbeda-beda. Jawaban dapat dalam bentuk sebuah gambar, kronologis, tulisan, rekaman, atau presentasi. Sangat variatif sekali.
Rahasia
kedua adalah ‘Open Book’. Setiap guru dalam memberikan ‘ulangan harian’
dengan cara buka buku. Secara otomatis sang guru akan membuat soal
berkualitas tinggi. Dengan kata lain soal-soal tersebut akan terus
bergerak ke atas sesuai dengan Tangga Bloom, yaitu dari tangga dasar
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa dan evaluasi. Dengan
open book, guru akan terhindar membuat soal dengan berhenti pada tangga
pengetahuan saja. Guru akan tertantang membuat soal yang berkaitan
dengan aplikasi, analisa, sintesa dan evaluasi. Tidak akan ada lagi soal
yang mempunyai instruksi sebagai berikut: Sebutkan lapisan-lapisan
atmosfer bumi beserta jarak ketinggiannya?. Apabila soal ini dikerjakan
dengan open book, maka pasti siswa menjawab dengan benar dengan cara
memindahkan tulisan dari buku ajarnya ke lembar jawaban ulangan harian.
Namun guru akan tertantang untuk membuat soal yang berkualitas, seperti
“Apabila mesosfera sebagai slah satu lapisan atmodfer bumi hilang, apa
yang akan terjadi terhadap planet bumi?” Siswa akan tertantang untuk
menganalisanya.
Selain
itu hal yang menarik adalah model grouping dan kewajiban membaca buku
pada setiap ulangan harian. Guru akan mengumumkan kepada siswanya, untuk
membaca rata-rata 3 buku dan dibagi menjadi beberapa kelompok, biasanya
satu kelompok terdiri dari 3 sampai 5 siswa. Terkadang informasi dari
website juga dijadikan sumber data dalam mengerjakan ulangan harian.
Ketika cara dan sistem ini di jalankan serius oleh setiap sekolah di Finlandia, maka muncul data statistik tentang kesempatan anak untuk membaca yang luar biasa. Data statistik itu sebagai berikut:
Ketika cara dan sistem ini di jalankan serius oleh setiap sekolah di Finlandia, maka muncul data statistik tentang kesempatan anak untuk membaca yang luar biasa. Data statistik itu sebagai berikut:
Jumlah bidang studi di SD rata-rata = 6 bidang studi
Setiap bidang studi dalam satu tahun terdapat = 10 bab
Setiap ulangan harian setiap bab siswa membaca = 3 buku
Maka dalam 1 tahun dalam 1 bidang studi siswa membaca = 3 x 10 = 30 buku
Maka dalam 1 tahun untuk 6 bidang studi siswa membaca = 30 x 6 = 180 buku
Maka selama jenjang SD 6 tahun siswa membaca = 180 x 6 = 1,080 buku
Setiap bidang studi dalam satu tahun terdapat = 10 bab
Setiap ulangan harian setiap bab siswa membaca = 3 buku
Maka dalam 1 tahun dalam 1 bidang studi siswa membaca = 3 x 10 = 30 buku
Maka dalam 1 tahun untuk 6 bidang studi siswa membaca = 30 x 6 = 180 buku
Maka selama jenjang SD 6 tahun siswa membaca = 180 x 6 = 1,080 buku
Bagaimana
dengan jenjang SMP, SMA dan Perguruan Tinggi?. Pantas saja tiba-tiba
selama 5 tahun terjadi perubahan budaya minat baca yang cukup
signifikan, dan menjadi ranking 1 di seluruh dunia.
Pertanyaan besarnya adalah apakah cara ini dapat diterapkan di Indonesia? Jawabnya adalah Bisa, mengapa tidak? Hanya saja membutuhkan paradigma yang sama dalam menyikapi pemberian soal dengan open book. Seorang teman yang juga sebagai dosen teknik di ITS Surabaya mengatakan bercerita kepada penulis bahwa beliau hampir 15 tahun sekolah di Amerika dan tidak pernah menjumpai soal-sola dengan closing book, apalagi mulitple choice. Ketika pulang ke Indonesia dan mengajar di ITS beliau menerapkan setiap kali melakukan feed back kepada mahasiswanya tidak pernah closing book, mesti dengan open book. Ketika saya tanya berapa dosen yang seperti itu? Dengan sedikit tertawa kecil beliau menjawab, tdak lebih dari 5 dosen. Wow … memang butuh persamaan paradigma terlebih dahulu, baru bisa diaplikasikan.
Pertanyaan besarnya adalah apakah cara ini dapat diterapkan di Indonesia? Jawabnya adalah Bisa, mengapa tidak? Hanya saja membutuhkan paradigma yang sama dalam menyikapi pemberian soal dengan open book. Seorang teman yang juga sebagai dosen teknik di ITS Surabaya mengatakan bercerita kepada penulis bahwa beliau hampir 15 tahun sekolah di Amerika dan tidak pernah menjumpai soal-sola dengan closing book, apalagi mulitple choice. Ketika pulang ke Indonesia dan mengajar di ITS beliau menerapkan setiap kali melakukan feed back kepada mahasiswanya tidak pernah closing book, mesti dengan open book. Ketika saya tanya berapa dosen yang seperti itu? Dengan sedikit tertawa kecil beliau menjawab, tdak lebih dari 5 dosen. Wow … memang butuh persamaan paradigma terlebih dahulu, baru bisa diaplikasikan.
Semoga
tulisan ini dapat menjadi embrio perubahan paradigma yang berkaitan
dengan tes yang berkualitas, discovering ability dan open book test.
Mengapa
harus bersifat korektif? Tulisan ini diharapkan mampu mengubah
paradigma kita tentang budaya membaca dan meningkatkan kemampuan membaca
masyarakat khusuusnya para pelajar kita. Dengan melihat data di atas,
Finlansia mampu mengubah sebuah budaya, dari budaya lisan menjadi budaya
baca dalam waktu yang relatif singkat (secara statistik hanya dalam 5
tahun). Pasti ada sesuatu yang unik dan luar biasa di Finlandia. Kita
tahu bahwa mengubah budaya suatu masyarakat atau bangsa bukanlah hal
yang mudah dan sederhana. Namun Finlandia ternyata mempunyai cara dan
sistem yang cukup efektif untuk melakukan hal ini.Seperti kita ketahui
komunitas yang memberikan sumbangsih kepada para pelajar untuk
meningkatkan minat baca adalah di awali dari keluarga, sekolah,
masyarakat dan fasilitas-fasilitas umum yang diselenggarakan pemerintah.
Sebelumnya, kondisi di Finlandia hampir sama dengan Indonesia, banyak
sekali mempunyai problem terhadap minat baca di setiap komunitasnya.
Pada komunitas keluarga, acara TV dan play station menjadi pesaing utama
minat baca anak. Di komunitas sekolah, perpustakaan sebagai sarana
membaca belum mendapat prioritas. Fasilitas-fasilitas umum untuk
membaca, seperti perpustakaan kota juga sepi pengunjung. Jadi hampi sama
dengan Indonesia. Namun tiba-tiba dalam 5 tahun berikutnya Finlandia
mengalami perubahan pesat terhadap minat baca. Bagaimana bisa begitu?
Terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar